Home / Literatur / Kerajaan Koying, antara Kerinci dan Jalur Perdagangan Selat Sunda

Kerajaan Koying, antara Kerinci dan Jalur Perdagangan Selat Sunda

Salah satu periode kegelapan dalam Lintasan Sejarah Sumatera adalah masa antara abad pertama sampai abad kelima Masehi. Catatan sejarah dari Cina pertama kali muncul pada tahun 645 M dimana Kerajaan Malayu (Minanga) mengirim utusan ke Cina (catatan Wang Pu). Pada rentang tahun 1 M – 644 M praktis tidak ada catatan Cina yang menyebut daerah sekitar Sumatera.

Meskipun demikian ada catatan-catatan tentang daerah di laut selatan (Kepulauan Nusantara) yang mengirim utusannya ke Cina pada rentang 441 M – 563 M. Daerah yang disebut itu adalah Kerajaan Koying dan Kerajaan Kantoli.

Diluar catatan sejarah ada pula dua kerajaan yang disebut-sebut pernah ada di Sumatera sebelum tahun 500 M yaitu Kerajaan Kandis yang beribukota di Istana Dhamna dan Kerajaan Koto Alang. Sumber cerita tentang kedua kerajaan itu adalah Tombo Lubuk Jambi. Untuk sementara kita tinggalkan pembahasan yang sifatnya ahistoris dan legendaris dan fokus pada dua kerajaan pertama yaitu Kerajaan Koying dan Kerajaan Kantoli.

Kerajaan Koying

Keberadaan Kerajaan Koying diidentifikasi berdasarkan catatan yang dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari Dinasti Wu (229-280) tentang adanya negeri Koying. Tentang negeri ini juga dimuat dalam Ensiklopedia T’ung-tien yang ditulis oleh Tu-yu (375-412) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin dalam ensiklopedia Wen-hsien-t’ung-k’ao (Wolters 1967: 51).

Diterangkan bahwa di Kerajaan Koying terdapat gunung api da kedudukannya 5.000 li di timur Chu-po (Jambi ?). Di utara Koying ada gunung api dan di sebelah selatannya ada sebuah teluk bernama Wen. Dalam teluk itu ada pulau bernama P’u-lei atau Pulau. Penduduk yang mendiami pulau itu semuanya telanjang bulat, lelaki maupun perempuan, dengan kulit berwarna hitam kelam, giginya putih-putih dan matanya merah. Mereka melakukan dagang tukar menukar barang atau barter dengan para penumpang kapal yang mau berlabuh di Koying seperti ayam dan babi serta buah-buahan yang mereka tukarkan dengan berbagai benda logam. Melihat warna kulitnya kemungkinan besar penduduk P’u-lei itu termasuk dalam rumpun Proto-Negrito atau Melayu Tua yang sebelumnya menghuni daratan Sumatera.

Menurut catatan Cina, Koying memiliki pelabuhan dan telah aktif mengadakan perdagangan, terutama dengan berbagai daerah di Pantai Barat Sumatera. Catatan Cina tentang hal itu didapatkan dari sumber India dan Funan (Vietnam) karena pengiriman utusan perdagangan langsung dengan Cina belum dilakukan. Dilaporkan selanjutnya bahwa Koying berpenduduk cukup banyak dan menghasilkan mutiara, emas, perak, batu giok, batu kristal dan pinang.

Dimanakah Kerajaan Koying?

Sampai saat ini belum ada kesepakatan dari ahli sejarah tentang lokasi kerajaan ini, namun ada beberapa pendapat yang mengajukan Kerinci sebagai pusat Kerajaan Koying. Pendapat ini disokong antara lain oleh penulis artikel Kerajaan Koying di Wikipedia. Artikel tersebut tidak menyertakan sumber tulisan yang dapat ditelusuri mengenai keterkaitan Kerinci dengan Koying, sehingga dapat dianggap hanya opini atau hipotesa dari penulis artikel. Apalagi pada akhir tulisan dihubung-hubungkan dengan Tambo Alam Kerinci.

Pendapat penulis artikel ini sepertinya berdasarkan kepada:

  • Catatan yang menyebutkan bahwa Koying terletak di Timur Chu-po (yang diinterprestasikan sebagai Tebo, Jambi).
  • Keberadaan Gunung Api di Utara Koying (ditafsirkan sebagai Gunung Kerinci)
  • Penemuan keramik Cina yang berasal dari zaman Dinasti Han di Cina (202 SM s.d 221 M), barang-barang tersebut berupa guci terbuka, guci tertutup, mangkuk bergagang dan wada berkaki tiga tempat penyimpanan abu jenazah. Benda-benda keramik yang telah ditemukan kelihatannya bukan barang kebutuhan sehari-hari, melainkan barang-barang yang sering digunakan untuk upacara sakral bagi keperluan wadah persembahan. Penemuan benda-benda yang berasal dari negeri Cina sebagaimana diungkapkan di atas, menunjukkan adanya jalur perdagangan atau kontak dagang baik secara langsung maupun tidak langsung antara penduduk negeri Koying dengan penduduk dari daratan negeri Cina.

Dari uraian diatas terlihat titik berat pendapat ini adalah keberadaan keramik-keramik tersebut dan penafsiran Chu-po sebagai Jambi. Menurut penulis kedudukan Chu-po ada di muara pertemuan dua sungai (Muara Tembesi) padahal deskripsi tentang daerah di muara pertemuan dua sungai ini adalah deskripsi untuk Chen Pi (Jambi). Istilah Chen Pi baru muncul setelah Abad Kesepuluh Masehi. Penulis membelokkan Chu-po menjadi Chen Pi dengan mudahnya untuk mendukung pendapatnya.

Penemuan keramik juga tidak bisa secara langsung dijadikan fakta pendukung berdirinya sebuah kerajaan pada masa pembuatan keramik tersebut. Keramik pada masa Dinasti Han (202 SM s.d 221 M) bisa saja diperdagangkan ratusan tahun setelah masa pembuatannya, bahkan sampai saat sekarang ini.

Apalagi penulis sengaja mengesampingkan fakta yang terdapat dalam catatan yang sama, yaitu:

  • Selain terdapat Gunung Api di Utara Koying, juga terdapat sebuah teluk besar di Selatannya. Teluk ini bernama Teluk Wen yang di dalamnya terdapat sebuah pulau.
  • Koying merupakan daerah penghasil mutiara, emas, perak, batu giok, batu kristal dan pinang. Penduduknya juga cukup banyak. Sebagai penghasil mutiara, tentulah tidak mungkin kalau lokasi Koying berada di Alam Kerinci yang sangat jauh di pedalaman Sumatera.
  • Dalam tulisan yang sama disebut nama Raja Koying adalah Dewawarman, yaitu berdasarkan catatan yang dibuat pada masa Kaisar Wu Di (140 SM – 87 SM) dari Dinasti Han. Catatan tersebut menyebutkan telah terdapat hubungan resmi antara Dinasti Han dengan sebuah kerajaan di Jawa atau Sumatera yang rajanya bernama Diao Bian (Dewawarman) dalam perdagangan mutiara, batu-batu permata, barang-barang antik, emas dan bermacam kain sutra. Catatan sejarah menunjukkan Dewawarman adalah gelar raja-raja di Kerajaan Salakanagara, yang berdiri di pesisir barat Pandeglang, Banten dari tahun 130 M – 362 M.

Disamping poin-poin diatas, analisa Geografi berdasarkan peta yang kami sajikan dibawah ini menunjukkan sangat susah untuk mencapai Alam Kerinci dari Pantai Timur Sumatera. Kerinci hanya bisa diakses dengan menelusuri salah satu anak sungai Batanghari yaitu Batang Merangin yang berhulu di Danau Kerinci, dari sana harus menyebarangi Danau Kerinci untuk mencapai dataran Alam Kerinci yang subur itu.

Peninggalan sejarah Kerinci umumnya ditemukan di dataran Kerinci yang berbentuk lembah sepanjang Batang Siulak yang bermuara di Danau Kerinci. Daerah aliran sungai (DAS) Batang Merangin ini bukanlah dataran rendah seperti DAS Batanghari, namun berbukit-bukit dan arusnya sangat deras. Sungai ini masih lebar sampai daerah Kota Bangko, selanjutnya ke hulu akan sangat sulit untuk dilayari. Jarak dari Bangko sampai Hulu Batang Merangin ini ada 90 kilometer.

 

Alternatif Lokasi Kerajaan Koying

Sebelum mencari lokasi yang logis untuk Kerajaan Koying, alangkah lebih baiknya kita sajikan fakta tentang jalur perdagangan yang melintasi Kepulauan Nusantara pada abad pertama dan kedua Masehi.

Berita yang paling meyakinkan tentang hubungan Nusantara dengan Eropa, India dan Cina adalah dengan ditemukannya peta yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus. Peta ini dibuat pada tahun 165 M. berdasarkan tulisan geograf Starbo (27 – 14 SM) dan Plinius (akhir abad pertama masehi). Dalam peta ini digambarkan tentang jalur pelayaran dari Eropa ke Cina dengan melalui: India,  Ujung Utara Sumatra, kemudian menyusuri Pantai Barat Sumatra, Pulau Panaitan, Selat Sunda, terus melalui Laut Tiongkok Selatan sampai ke Cina (Yogaswara, 1978: 21-38).

Sekarang mari kita rangkum poin-poin dalam Catatan Wan Chen dalam konteks jalur perdagangan yang melintasi Nusantara pada abad pertama dan kedua Masehi (165 M – 280 M):

  • Hubungan dagang Koying dengan Cina adalah dalam hal perdagangan mutiara, emas, perak, batu giok, batu kristal dan pinang.
  • Gelar Raja adalah Dewawarman (Diao Bian)
  • Koying terletak di sebelah Timur Chu Po, penduduknya cukup banyak
  • Di sebelah utara terdapat Gunung Api
  • Di sebelah selatan terdapat Teluk Wen yang memiliki pulau di dalamnya.
  • Pulau tersebut didiami oleh penduduk yang semuanya telanjang bulat, lelaki maupun perempuan, dengan kulit berwarna hitam kelam, giginya putih-putih dan matanya merah. Mereka melakukan perdagangan tukar menukar barang atau barter dengan para penumpang kapal yang hendak berlabuh di Koying seperti ayam dan babi serta buah-buahan yang mereka tukarkan dengan berbagai benda logam.

Dari poin-poin diatas, perkenankanlah saya menyimpulkan bahwa Kerajaan Koying tidak lain adalah Kerajaan Salakanagara sendiri. Semua poin yang ada dalam catatan Wan Chen didukung oleh fakta geografis dan historis berikut:

  • Di pesisir barat Pandeglang, Banten terdapat daerah dengan karakteristik yang sangat cocok dengan deskripsi geografis catatan Wan Chen. Terdapat Gunung Api di Utara (Gunung Krakatau Tua di lautan serta Gunung Pulasari dan Gunung Karang di daratan dekat pesisir barat). Pada saat ini Gunung Krakatau belum meletus sehingga tampak lebih besar dari sekarang.
  • Di sebelah selatan terdapat dua teluk yang cukup besar, salah satunya Teluk Ujung Kulon, dan terdapat pulau di sebelah utara teluk (Pulau Panaitan atau Pulau Sumur)
  • Chu po lebih sering ditafsirkan sebagai Jawa, bukan Jambi. Dinasti Song masih menyebut Kerajaan Medang pada abad keenam sebagai Cho Po.
  • Penduduk pulau-pulau kecil di Selat Sunda dan Pantai Barat Sumatera (khususnya Pulau Enggano) adalah bangsa Melayu Tua yang berkulit lebih gelap. Beberapa catatan Bangsa Eropa menyebutkan karakteristik yang sama dengan catatan Wan Chen tentang penduduk pulau-pulau kecil.
  • Dewawarman adalah gelar raja-raja di Kerajaan Salakanagara, yang berdiri di pesisir barat Pandeglang, Banten dari tahun 130 M – 362 M.

 

Kerajaan Salakanagara sendiri pernah diperintah oleh bangsawan yang tersingkir dari India Selatan yaitu dari Kerajaan Salankayana. Menurut Prasasti Allahabad, Raja Samudragupta telah mengalahkan Raja Hastiwarman dari keluarga Salankayana dan mengalahkan Raja Wisnugopa dari keluarga Pallawa. Pada tahun 270 saka (348 Masehi) seorang Maharsi dari keluarga Salankayana yang bernama Jayasingawarman hijrah ke pulau-pulau sebelah selatan India bersama para pengikutnya yang terdiri dari pengiring, tentara dan penduduk yang melarikan diri dari musuhnya Samudragupta.

Kerajaan Kantoli / Kandali / Gandhari

Menurut catatan yang dibuat dalam pemerintahan Kaisar Wu dari Dinasti Liang (502-549), kerajaan Kandali mengirim utusannya ke Cina pada tahun 502, 519 dan 520. Dilaporkan juga bahwa kerajaan Kandali berada di laut selatan dan adat kebiasaan penduduknya seperti Kamboja dan Campa. Hasil buminya meliputi bahan pakaian berbunga (tenun ikat), kapas, dan pinang bermutu tinggi.

Sumber:

http://melayuonline.com/ind/history/dig/289/kerajaan-koying

http://melayuonline.com/ind/history/dig/350

http://babadbanten.blogspot.com/search/label/Sejarah%20Nusantara

http://babadbanten.blogspot.com/search/label/Sejarah%20Banten

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Salakanagara

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Koying

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kandali

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Kandis

http://id.wikipedia.org/wiki/Kerajaan_Koto_Alang

About minangheritage

Minangkabau Heritage adalah sebuah gerakan konservasi Warisan Budaya Minangkabau yang berangkat dari kesadaran akan perlunya portal open data dengan sumber terbuka yang bertemakan Kebudayaan Minangkabau. Proyek ini diselenggarakan secara gotong royong baik dari sisi teknis, penyuntingan naskah dan pelbagai kegiatan lainnya. Saat ini ada 3 Sub Tema besar yang sedang dikerjakan yaitu : Sejarah Minangkabau, Budaya Minangkabau, Warisan Minangkabau. Ingin berpartisipasi ? Silahkan kirim file, naskah, dokumen anda melalui menu yang tersedia atau kiri email beserta lampiranya ke [email protected]

Check Also

Wilayah Kebudayaan Pulau Sumatera

SUMBER ARTIKEL DAPAT DIBACA DISINI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *